Teologi Misi

Stephen B. Bevans, SVD & Roger P. Schroeder, SVD. memulai pembahasan dalam buku Constants in context: A theology of mission for today dengan pendahuluan yang sangat jelas dan sistematis untuk menuntun pembaca mengetahui tujuan, isi dan struktur buku ini. Tampaknya tidak ada batasan tentang siapa yang seharusnya membaca buku ini, tetapi mungkin ini memang disajikan bagi semua orang Kristen yang dipanggil untuk terlibat dalam misi Allah. Mengenai isi, disebutkan bahwa buku ini berisi sejarah teologi dan praktik misi yang terbentuk melalui tradisi-tradisi Kristen yang konstan dan kontekstual dalam hal doktrin dan pandangan alkitabiahnya. Buku ini disusun secara sistematis sebagai tanggapan terhadap dua hal, yaitu perlunya menyusun teologi misi yang diilhami oleh tindakan misi Allah yang terus-menerus di dalam dunia dan perlunya menulis sejarah gerakan Kristen di dunia yang bersifat multi-directional. Buku ini terdiri dari 3 bagian, yaitu pertama, membahas tentang sifat gereja yang misioner dalam Kisah Para Rasul dan 6 konstan (tema) doktrinal yang menjadi pusat kesetiaan gereja (Kristologi, eklesiologi, eskatologi, keselamatan, antropologi, dan kebudayaan); kedua, membahas tentang enam momen sejarah gerakan Kristen mulai dari awal gereja sampai akhir abad ke-20; ketiga, membahas tentang perkembangan teologi misi pada masa kini. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan secara historis, teologi sistematik dan sejarah teologi sistematik.

Sub judul kedua dari bagian pertama buku ini membahas tentang pernyataan “You are Witnesses of These Things” Constants in the Church’s Mission. Di dalam bagian ini diuraikan enam konstan dalam misi dan tiga tipe teologi menurut perspektif Justo L. Gonzáles, yang dihubungkan dengan tiga paradigma (teologi ortodoks/konservatif, liberal, dan radikal/pembebasan) menurut Dorothee Sölle.

  • Tipe teologi A: Misi sebagai penyelamatan jiwa-jiwa dan perluasan gereja. Tipe ini berasal dari pemikiran Tertullianus. Menurut tipe ini, konsep misi terkait dengan 6 konstan dalam paradigma ortodoks/konservatif, yang lebih menekankan pada hukum, yaitu: Yesus adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan; gereja sebagai satu-satunya sarana keselamatan; akhir jaman dipahami sebagai waktu di mana Allah akan memberi upah kepada orang baik dan menghukum orang jahat; keselamatan diterima setelah mati dan terbatas untuk pribadi yang telah mengalami pembaruan batin/roh dengan mengakui Yesus sebagai satu-satunya juruselamat; manusia telah jatuh dan kehilangan kemuliaan Allah, manusia bersifat dualistik, dan manusia memiliki tingkatan: superior dan inferior; kebudayaan bersifat normatif, universal dan permanen. Berdasarkan pembagian yang dibuat Stephan Bevans tentang perjumpaan iman Kristen dengan kebudayaan, maka pandangan Tipe A ini lebih pada translation model dan counter-cultural model, di mana keduanya menekankan bahwa kebudayaan tidak mempunyai makna rohani sehingga bisa saja dipakai atau bisa juga dilenyapkan.
  • Tipe teologi B: Misi sebagai penemuan kebenaran. Tipe ini berasal dari pemikiran Origenes di Alexandria, yang memberi penekanan pada kebenaran. 6 konstan menurut paradigma liberal: Yesus adalah pewahyu dan teladan iluminatif yang menyatakan kedalaman kasih Allah kepada manusia; gereja sebagai model komunitas yang menyatu dengan Kristus dan sesama anggota komunitasnya; eskatologi sudah dinyatakan melalui kematian dan kebangkitan Yesus, tetapi belum sempurna karena masih harus menunggu kedatangan-Nya dengan pengharapan (inaugurated eschatology); keselamatan berarti pencerahan atas kebodohan akan ilmu pengetahuan yang memajukan manusia. Di abad ke-20, keselamatan dipahami sebagai perkembangan atau bahkan pembebasan dalam bidang politik dan ekonomi; manusia dipandang positif menyangkut akal dan pengalamannya dan dianggap mampu untuk menemukan kebenaran. Karena itu, misi selalu ada dalam bentuk pendidikan; kebudayaan dipandang positif dan layak dipercaya karena kekayaan Kristus bisa saja tersembunyi di dalam nilai dan pola kebudayaan.
  • Tipe teologi C: Misi sebagai komitmen kepada pembebasan dan transformasi. Tipe ini berasal dari Irenaeus dari Asia Kecil. 6 konstan menurut paradigma teologi radikal/pembebasan: Yesus sebagai Allah yang berinkarnasi, bukan karena kejatuhan manusia, tetapi karena kasih Allah yang bersifat membebaskan manusia dari perbudakan kepada Iblis; gereja adalah tubuh Kristus sehingga menjadi saluran anugerah Allah; eskatologi sebagai proses sejarah transformasi dan penggenapan akan kemuliaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah; keselamatan sebagai penyembuhan dan penyempurnaan manusia dan dunia, baik secara jasmani maupun rohani; manusia diciptakan belum sempurna, tetapi dapat menjadi sempurna, manusia dipanggil untuk terus bertumbuh dan terus belajar. Dosa manusia dipandang sebagai perbudakan terhadap iblis sehingga perlu dibebaskan; pada dasarnya kebudayaan itu baik, tetapi karena manusia berdosa terlibat dalam menciptakan kebudayaan, maka kebudayaan perlu dimurnikan, disempurnakan dan dipulihkan. Model kebudayaannya adalah praxis model dan countercultural model.

Pada bagian ketiga buku ini diberi judul Constants in Context: A Theology of Mission for Today. Di dalamnya dibahas tiga model misi yang berkembang pada akhir abad ke-20, yaitu:

  • Misi sebagai partisipasi dalam misi Allah Tritunggal (Missio Dei) adalah konsep misi yang terdapat dalam dokumen Ad Gentes yang dihasilkan dalam Konsili Vatikanus II dan dalam dokumen-dokumen gereja-gereja Ortodoks. Di dalam semua dokumen itu dinyatakan bahwa misi gereja berasal dari misi Allah Tritunggal sehingga misi berarti Allah Tritunggal mengutus gereja untuk bermisi dan umat Allah, yang telah menyatu dalam kesatuan Allah Tritunggal, harus berpartisipasi untuk menyelamatkan dan menjangkau seluruh ciptaan.
  • Misi sebagai pelayanan pembebasan oleh kerajaan Allah adalah konsep misi dari dokumen nasehat kerasulan, Evangelii Nuntiandi (EN) yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI tahun 1975 dan dokumen-dokumen WCC. Di dalam semua dokumen itu dikemukakan bahwa misi dimulai dari pelayanan konkrit Yesus dan pemberitaan-Nya tentang kerajaan Allah. Misi gereja adalah melanjutkan misi Yesus di dalam dunia ini, yang telah menjalankan pelayanan pembebasan yang bersifat holistik. Menurut konsep ini, misi gereja harus berpusat pada kerajaan Allah di mana gereja merupakan tanda dan alat bagi kerajaan Allah yang berkomitmen untuk menegakkan keadilan dan pembebasan di dunia.
  • Misi sebagai proklamasi Yesus Kristus sebagai Juruselamat universal adalah konsep misi yang mengacu pada ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Redemptoris Missio (RM) dan dokumen-dokumen gereja-gereja Injili dan Pentakostal. Menurut konsep ini, misi adalah pemberitaan tentang Yesus Kristus sebagai juruselamat semua orang karena hanya Dialah yang dapat menyatakan tentang Allah dan yang memimpin kepada Allah. Semua manusia diselamatkan hanya berdasarkan iman kepada-Nya. Dengan melakukan pembebasan politik, tindakan sosial dan upaya-upaya rekonsiliasi bukan berarti orang sudah menerima keselamatan. Keselamatan terjadi ketika orang bertobat, dan mengalami kehidupan yang baru, serta menyebarkan kebenaran itu kepada orang lain.

Selanjutnya, menurut buku ini, Stephen Bevans dan Eleanor Doidge menawarkan model teologi misi yang bisa diterapkan pada masa kini, yaitu misi sebagai dialog profetis, yang merupakan sintesis dari ketiga model misi sebelumnya dan ini dirasa sesuai dengan keadaan di abad ke-21. Menurut mereka, model dialog profetis adalah gereja berpartisipasi dalam dialog yang terjadi antara kehidupan ini dengan misi Allah Tritunggal, di mana dialog itu bersifat profetis, artinya bukan hanya menyadarkan umat akan kasih Allah, tetapi juga menyadarkan tentang ketidaksetiaan dan ketidakadilan mereka. Untuk itu ada enam komponen penting dalam misi Allah melalui gereja yang harus dilaksanakan, yakni: 1) kesaksian dan pemberitaan Injil; 2) liturgi, doa, dan perenungan; 3) komitmen pada keadilan, perdamaian dan integritas ciptaan; 4) mempraktekkan dialog antar agama; 5) usaha-usaha inkulturasi; 6) pelayanan rekonsiliasi.

Usulan Bevans dan Doidge telah mempengaruhi definisi misi yang dibicarakan Cathy Ross dalam pendahuluan buku “Mission in the Twenty-first Century,” yaitu “the five marks of mission[1] (Andrew – Ross 2008, xiv, xvi) sehingga tampaknya bahwa kedua definisi itu hampir sama.Tetapi Ross mengakui bahwa definisi misi dalam “the five marks of mission” belumlah sempurna dan lengkap, tetapi setidaknya berpotensi besar untuk membentuk dasar bagi pekerjaan misi yang baik dengan pendekatan holistik (Andrew – Ross 2008, xiv). Menurut saya, usulan Bevans dan Doidge tentang misi sebagai dialog profetis sangat baik untuk diterapkan pada masa sekarang karena bersifat saling melengkapi di antara ketiga model teologi misi yang sudah ada sebelumnya, tetapi diharapkan tetap terbuka untuk dikembangkan karena misi itu rumit sebagaimana yang dikatakan Ross “mission is complex; it is multi-faceted; different concerns emerge from different places” (Ross 2008, xv).

Dalam konteks Indonesia, teologi Tongkonan yang digagas oleh Th. Kobong, bisa dikatakan sebagai perwujudan dari misi sebagai dialog profetis karena Kobong dalam upayanya, yang menurut Ngelow adalah kontekstualisasi teologi (menurut Kobong sendiri, gagasannya itu adalah kontekstualisasi murni), telah memperlihatkan adanya dialog antara Injil sebagai kebenaran yang universal dengan konteks budaya lokal yang subordinatif terhadap Injil. Perjumpaan antara Injil dan budaya Tongkonan itu tidak menghilangkan identitas kekristenan, malahan budaya Tongkonan bisa dimaknai secara baru mengikuti norma-norma Injil Yesus KristusSifat profetisnya terlihat dari kesediaan budaya Tongkonan melepaskan dirinya dari maknanya yang lama karena adanya kesadaran akan sifatnya yang berdosa di hadapan Allah. (lih. Ngelow 2004, 54- 56).

Daftar Acuan:

Bevans, Stephen B. & Schroeder, Roger P., 2004. Constants in context: A theology of mission for today. Maryknoll, New York: Orbis Books.

Ngelow, Zakaria. 2004. Teologi Tongkonan: Apresiasi kritis terhadap kontekstualisasi. Dalam Misi kontekstual: Th. Kobong dan pergulatan kekristenan lokal di Indonesia, peny. Martin L. Sinaga, Johana Pabontong-Tangirerung, Steve Gaspersz, 53-69. Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta dan Gereja Toraja.

Walls, Andrew and Ross, Cathy. 2008. Mission in the Twenty-first century: Exploring the five marks of global mission. Maryknoll, New York: Orbis Books.

Endnote:

[1] The five marks of mission: 1) To proclaim the Good News of the Kingdom; 2) To teach, baptize, and nurture new believers; 3) To respond to human need by loving service; 4) To seek to transform unjust structures of society; 5) To strive to saveguard the integrity of creation and sustain and renew the life of the earth.

Abstract of Dissertation: The Efforts of Development of Contextual Theology in Indonesian Theological Education: The Historical-Comparative Study between Mainstream Theological Schools and Evangelical Theological Schools (1972-2014). (by: Desi Sianipar, Jakarta Theological Seminary, graduated on June 2015

In this dissertation, the author finds that the efforts to develop contextual theology in theological schools in Indonesia have not been significant since 1972. Since that time the term ‘contextualization’ was popularized by the Theological Education Fund (TEF) and both mainstream and Evangelical theological schools committed to develop contextual theology for the sake of relevance and as a contribution of theological education to church and society, especially in Indonesia. Many studies have given their opinions about this, but they were not supported by the evidence of accurate research. Therefore, I have done study to investigate the development of contextual theology in the period 1972-2014, and how and why it is carried out both in mainstream theological schools (especially STT GKE Banjarmasin and FT-UKDW Yogyakarta) and also in Evangelical theological schools (especially STT SAAT Malang, I-3 Batu , and STTII Yogyakarta). This research includes the history of theological education, theological views, the concept of contextual theology, models of contextual theology, the results of the development of contextual theology, the benefits and goals of the development of contextual theology, and the challenges faced in the development of contextual theology in these two theological education groups.

Based on the historical-comparative study through literature reviews, in-depth observations and interviews, and based on the contextual theology theories of Stephen B. Bevans and other contextual theologians, this study finds that both groups of theological schools have been endeavouring to develop contextual theology. The mainstream theological schools understand contextual theology as striving to consider context seriously by a theological approach beginning from the context and by emphasizing dialogue. This contextual theology approach emphasizes freedom but still tends to use the anthropological, synthesis, and praxis methods. Their reason for contextual theology is to appreciate and to meet the needs of the current context in their locations. Meanwhile, Evangelical theological schools understand contextual theology as an effort to consider the context seriously through the textual approach (the Bible and church tradition) and emphasizes application. Their approach to contextual theology tends to use countercultural methods. Their reason for contextual theology is to operate (apply) the culture and evangelism mandates.

Based on this research, the author noticed that the success in the development of contextual theology cannot be measured only by the number of contextual theological works in written form produced by theological schools. Nor can it be measured by the concepts and the methods of contextual theology used by theological schools, as certain theological schools are less concerned to write down their thoughts or opinions, or are less skilled in writing, yet can still be successful in the application of their concepts in ministry in church or society.

Therefore, after completing this research, the author proposes several ways to make the development of contextual theology in theological schools become more significant, namely theological schools should: cooperate by applying theology of partnership; have a contextual vision and mission; develop a contextual and integrated curriculum, balanced in its intellectual, spiritual and ministry aspects; promote interdisciplinary studies by establishing study centers; have well-qualified human resources (faculty and students); seek for full support from their sponsoring foundations/churches; encourage freedom to develop thoughts and methods of contextual theology; give proper exercise in doing contextual theology theoretically and practically; have real involvement in the context; and cooperate with theological and non-theological institutions that support the development of contextual theology.